Kontroversi Komentar Menteri Israel: Apartheid atau Supremasi?

Rara News

Kontroversi Komentar Menteri Israel: Apartheid atau Supremasi?
Kontroversi Komentar Menteri Israel: Apartheid atau Supremasi? (Dok. VOA)

Jakarta – Dalam wawancara terbarunya dengan TV Israel, yang membahas gelombang serangan teror yang dilakukan oleh orang Palestina terhadap warga Israel, Menteri Keamanan Nasional garis keras Israel, Itamar Ben-Gvir, menyatakan perbedaan hak antara orang Yahudi dan orang Arab di Tepi Barat. Ia merujuk pada Tepi Barat sebagai Yudea dan Samaria, sesuai dengan nama dalam Alkitab.

Ben-Gvir mengungkapkan, “Bagi saya, hak saya, hak istri, dan anak-anak saya untuk bergerak bebas di jalan-jalan Yudea dan Samaria lebih penting daripada hak-hak orang Arab.”

Komentar kontroversial Ben-Gvir ini telah memicu kembali perdebatan yang telah berlangsung selama puluhan tahun tentang Israel dan isu apartheid, baik di dalam maupun di luar Israel.

Supermodel Amerika, Bella Hadid, yang ayahnya berdarah Palestina, mengkritik tajam komentar tersebut di akun Instagramnya yang memiliki hampir 60 juta pengikut. Sementara Kementerian Luar Negeri Palestina menyebut komentar Ben-Gvir sebagai “penguatan supremasi rezim apartheid Israel.”

Banyak orang Israel menentang label “apartheid” yang melekat pada negara mereka, dengan alasan bahwa istilah tersebut hanya sesuai untuk situasi di Afrika Selatan. Mereka mengingatkan bahwa istilah “apartheid” dalam bahasa Afrikaans merujuk pada kebijakan segregasi dan diskriminasi berbasis ras yang terjadi di Afrika Selatan.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dalam wawancara terbaru dengan media Amerika, menolak tuduhan apartheid terhadap Israel sebagai “omong kosong” dan lebih menekankan pada ancaman terhadap etnis Yahudi di kawasan tersebut.

Peneliti politik Samuel Hyde, yang berasal dari Afrika Selatan dan pindah ke Israel, menjelaskan melalui Zoom bahwa Israel belum mencaplok Tepi Barat, sehingga orang Palestina bukan warganegara Israel. Mereka saat ini hidup tanpa kewarganegaraan dan di bawah pendudukan militer. Namun, Israel tidak memiliki kewajiban untuk memberikan kewarganegaraan kepada mereka selama wilayah tersebut belum dicaplok secara resmi.

BACA JUGA:  Memeriksa Advokat Kamaruddin Simanjuntak sebagai Tersangka: Kasus Pencemaran Nama Baik dan Berita Bohong

Pendapat berbeda datang dari Sam Bahour, seorang pengusaha Palestina-Amerika yang tinggal di Ramallah. Menurutnya, komentar Ben Gvir sebenarnya mencerminkan supremasi Yahudi, dan ini sesuai dengan pandangan banyak organisasi hak asasi manusia utama yang telah lama menganggap situasi ini sebagai apartheid.

Sejumlah organisasi yang mendukung Israel menganggap tuduhan apartheid sebagai bentuk antisemitisme, karena dianggap sebagai serangan terhadap negara Yahudi, sementara pelanggaran HAM di negara lain tidak mendapat sorotan serupa.

Ketidaksepakatan mengenai isu ini masih memicu perdebatan tajam, dan semakin memperumit upaya mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina dalam kerangka solusi dua negara, lebih dari 30 tahun setelah perjanjian Oslo. Beberapa pengamat meyakini bahwa penerapan hukum terpisah bagi kedua bangsa di wilayah yang sama akan terus memicu tuduhan apartheid.

Also Read

Tags